BERKOMITMEN UNTUK MENEGAKKAN KEBENARAN
Markus 11 : 15 – 19
Pdt. Yaksih Nuban Timo
Syalom!
Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Ini adalah sebuah pribahasa yang hendak menjelaskan dengan satu kali melakukan suatu pekerjaan didapatkan keuntungan beberapa kali.
Atau ada juga pribahasa sambil menyelam minum air, yang punya makna tidak jauh berbeda dari pribahasa pertama, yaitu dapat melakukan beberapa pekerjaan dalam satu waktu sehingga terjadi efisiensi waktu.
Pemerintah kita sekarang mengkampanyekan tentang efisiensi baik dalam waktu maupun dana. Kalau kita perhatikan cara belajar anak-anak milenial, persis seperti pribahasa kedua tadi, sambil menyelam minum air karena mereka bisa belajar sambil dengar musik atau melakukan aktivitas lain, yang dulu, pada masa kita sekalu orang tua susah untuk dilakukan.
Saya menyebut dua jenis pribahasa tadi karena apa yang sedang terjadi pada masa Yesus dalam peristiwa menyucikan Bait Allah pun perisi sama dengan pribahasa itu. Yang melakukannya bukan Yesus dan murid-muridNya, melainkan para pekerja, Kaum Lewi yang ada di Bait Allah.
Pertanyaannya adalah apakah yang mereka lakukan itu?
Dalam ayat 15 ada sejumlah informasi yang menyebutkan aktivitas yang memicu amarah Yesus di Bait Allah, yaitu aktivitas jual beli, menukar uang dan berdagang burung Merpati.
Di Injil Yohanes aktivitas dagang bhewan itu juga ada lembu, kambing dan domba (Yoh 2:14). Aktivitas ini nampaknya terjadi di halaman atau seputaran lokasi Bait Allah. Aktivitas yang dilakukan itu sebenarnya bukan aktivitas baru. Sudah lama dilakukan di sana.
Aktivitas yang dilakukan kaum Lewi dan para pedagang ini sesungguhnya diketahui oleh para imam dan ahli taurat. Namun mereka membiarkannya. Mengapa?
Pertama karena aktivitas ini banyak membantu umat dalam melakukan ibadah di Bait Allah. Yang biasanya melakukan aktivitas ibadah itu adalah umat Yahudi atau Israel yang datang dari berbagai wilayah dan juga kaum proselit.
Dalam ibadah di Bait Allah pada waktu itu, aktivitas persembahan kurban masih diberlakukan. Orang yang mau berdoa dan menyampaikan permohonan kepada Tuhan, melakukannya dengan membawa kurban berupa hewan sebagaimana yang diatur dalam kitab Imamat.
Bagi mereka yang datang jauh dari Yerusalem, tempat berdirinya Bait Allah, membawa serta hewan kurban membutuhkan biaya dan waktu. Karena itu, akan mudah dan efisien jika dibeli di Bait Allah yang disediakan kaum Lewi dan pedagang yang diisinkan para imam di sana.
Kaum Lewi dan para pedagang memanfaatkan moment ini untuk meraih keuntungan dengan menaruh harga tinggi dari biasanya. Dan karena kebutuhan, maka walaupun tinggi tetap dibeli.
Kemudian tentang kaum proselit. Kaum ini adalah orang asing bukan Yahudi yang mau belajar agama Yahudi tetapi tidak diwajibkan sunat atau mematuhi taurat seluruh taurat. Mereka sering kali mempelajari dan menerapkan kebiasaan Yahudi.
Kaum ini seringkali juga beribadah di Bait Allah dan mereka biasanya tidak membawa hewan kurban melainkan mempersembahkan dalam bentuk uang. Uang yang digunakan sebagai persembahan adalah mata uang Yahudi, yaitu syikal.
Karena itu disediakan jasa penukaran uang untuk kaum ini. Hanya saja nilai tukarnya yang dinaikkan sehingga menguntungkan pemilik jasa tukar. Walaupun tinggi, tapi tetap dilakukan karena dibutuhkan dalam ibadah di Bait Allah saat itu.
Walaupun sudah lama dilakukan dan menolong umat yang datang beribadah, tetapi yang Yesus temukan dalam pengamatanNya atas aktivitas itu adalah bahwa motivasi yang ada dalam diri mereka yang menawarkan jasa itu adalah untuk keuntungan diri.
Ini tergambar dari cara mereka menaikkan harga sesuka hati mereka kepada orang-orang yang datang beribadah dan tidak punya pilihan lain selain membeli karena menjadi kebutuhan dari ibadah mereka.
Kaum Lewi dan para pedagang yang diusir Yesus dalam bacaan kita ini adalah mereka yang mencari keuntungan dalam ibadah. Label ibadah dijadikan sarana untuk meraup keuntungan yang besar dan menyengsarahkan umat. Mereka melakukannya seperti pribahasa ini menggunakan kesempatan dalam kesempitan, yaitu mencari keuntungan dalam situasi sulit.
Jadi tindakan marah Yesus adalah tindakan Dia untuk membersihkan praktek menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Orang yang ada dalam situasi sulit dan susah, jangan lagi dibuat susah atau diperalat untuk mendapatkan keuntungan dari keadaan mereka.
Di point ini, kita ternyata menemukan bahwa dalam kehidupan kita pun sampai kini, praktek ini masih terus ada dan dilakukan. Bahkan agama dan praktek-praktek agama juga dijadikan kesempatan untuk dapat untung.
Di kota-kota besar, ibadahnya dirancang sedemikian rupa untuk menggundang banyak orang hadir dan dalam khotbah-khotbahnya, para pengkhotbah menekankan dengan berulang dan sangat pada persembahan agar orang beri persembahan yang banyak dan besar.
Atau ada juga pengkhotbah-pengkhotbah yang karena sudah dikenal menerapkan tarif berkhotbah yang tinggi bagi yang memintanya. Praktek ini terlihat biasa tetapi tidaklah jauh berbeda dengan apa yang dilakukan kaum Lewi dan para pedagang di Bait Allah.
Ini point pertama yang bisa kita renungkan bersama. Jangan menggunakan kesempatan dalam kesempitan dengan alasan pelayanan untuk memperoleh keuntungan pribadi.
Di point ini juga, Tuhan sedang mengajarkan kepada kita bahwa melaksanakan tanggung jawab sesuai tupoksi itu harus dikerjakan dengan rasa tanggung jawab dan motivasinya bukan untuk mencari keuntungan. Jangan jadikan tupoksi kita sebagai lahan basah untuk memperoleh keuntungan lebih.
Tiap pekerjaan, tiap pelayanan harus dilakukan sesuai dengan tupoksinya. Ketika itu dikerjakan dengan benar dan baik sampai tuntas, maka orang yang mengerjakannya akan dapat menikmati hasilnya yang membuat dia berbahagia saat menikmati hasilnya, dicintai banyak orang dan mendapatkan kepercayaan lebih untuk hal-hal lain di masa mendatang.
Mengapa banyak orang menggunakan tupoksinya sebagai tempat basah dalam meraup keuntungan?
Jawabannya karena sikap serakah yang dibiarkan ada dalam diri, hati dan kehidupan mereka. Sikap serakah ini bukan sikap yang dibawa sejak lahir tetapi hasil dari pembelajaran sosial. Pembelajaran yang dilakukan di rumah dengan orang tua, keluarga dan masyarakat. Bagaimana itu?
Kalau anak salah lalu kita tidak mengajarnya untuk menemukan letak tindakannya sehingga dia salah, tapi mencari kambing hitam atas kesalahannya, maka akan memunculkan dua sikap pada anak, egois dan serahakah.
Kalau orang tua dan keluarga memanjakan anak terlalu berlebihan, maka tanpa sadar kita sedang menjadikannya orang yang egois dan serahkan di masa depan, yang kemungkinan akan jauh dalam melakukan kebenaran saat dia beraktivitas di bidang apapun.
Kembali pada teks kita, tindakan Yesus melakukan penyucian Bait Allah dari praktek dagang ini dapat pula melahirkan pertanyaan, apakah itu berarti melakukan aktivitas dagang seperti lelang natura dalam ibadah tidak diperbolehkan?
Jawabannya tidak. Kalau kita perhatikan penjelasan awal tadi kenapa Yesus marah pada aktivitas dagang itu adalah karena motivasi pribadi yang dibungkus pelayanan yang muncul di sana melalui penerapan harga yang tinggi dengan memanfaat situasi.
Kalau lelang natura kita diarahkan untuk maksud seperti itu, maka itu tindakan yang salah. Tapi kalau lelang natura itu dalam rangka untuk mendukung pekerjaan pelayanan dengan harga yang toleransi dan akan kembali dinikmati oleh jemaat, maka hal itu sama dengan Tuhan meminta umat Israel saat hendak mendirikan kemah suci untuk memberikan harta bendanya mendukung pembangunan itu.
Jadi pembedanya adalah pada motivasi. Dan karena motivasi itu tidak bisa terlihat, maka ukuran menilai motivasi itu ada pada penentuan harga dan penggunaan kebijakan untuk menindas, membebani orang lain, jemaat.
Di sini sebuah pelajaran kita peroleh, yakni bahwa semua kita yang diberi kepercayaan, terima wewenang membuat kebijakan, memimpin orang dan organisasi diminta untuk tidak melakukan praktek berjualan di Bait Suci melalui penggunaan kebijakan, membuat kebijakan yang menindas, membebani dan membuat orang lain menderita dan sengsara.
Selanjutnya, dalam ayat 17, kita juga menemukan perkataan Yesus dengan mengutip nubuat Yesaya 56:7 dan Yeremia 7:11. Hal itu berkenaan dengan kegunaan rumah Tuhan bagi Israel.
Dalam nubuat itu Yesaya dan Yeremia menyerukan agar rumah Tuhan harus dijadikan sebagai rumah yang memberi rasa sukacita, rasa kegembiraan, menghilangkan duka dan air mata. Menghilangkan kekecewaan dan frustasi karena persoalan yang dialami.
Rumah Tuhan menjadi rumah doa sebab di sana semua yang datang dapatkan ruang dan kesempatan tanpa dibebani untuk menyampaikan keluh kesahnya kepada Tuhan dalam doa-doa mereka.
Rumah doa adalah perlambang dari suasana khusyuk yang disiapkan. Suasana tenang yang didapatkan sehingga orang dapat berkonsentrasi untuk membangun hubungan dengan Tuhan dan mendengarkan pengajaranNya.
Rumah doa seperti ini, di masa kini adalah keberadaan diri pelayan dan tempat orang bertemu Tuhan yang menghadirkan suasana khusyuk, yakni tenang, tunduk, penuh konsentrasi, bersungguh-sungguh untuk dapat beribadah dengan penuh kerendahan hati.
Rumah doa adalah perintah Tuhan Yesus untuk setiap pekerjaan yang kita lakukan sebagai muridNya adalah pekerjaan ibadah dan bukan pekerjaan komersil seperti yang dipertontonkan dalam aksi berjualan di Bait Suci. Mengapa?
Ini terjadi karena ibadah yang kita lakukan itu berwujud dalam 2 hal, akta dan aksi. Akta adalah apa yang kita katakan dan aksi adalah apa yang kita lakukan. Keseimbangan untuk dijalankan bersama-sama itu menjadi penting dan bukan hanya 1 aspek saja.
Tuhan memberkati kita.