Shalom, selamat memasuki minggu sengsara Yesus yang ketiga. Di minggu ini, kita diajak untuk “memandang Dia yang tertikam”. Mari saya ajak kita untuk merefleksikan beberapa point dari bacaan ini disesuaikan dengan tema kita:
- Pengantar teks dan konteks
Ss, su pernah dapat tikam ko? Mungkin ada yang su pernah dapa tikam paku, beling, duri atau mama-mama waktu menjahit kemudian jari dapat tikam dari jarum…dll. Kira-kira apa yang dirasakan? Pastinya sakit eee… sakitnya tu di…
Ss, Kitab Zakharia ditulis sekitar tahun 520-480 SM, setelah bangsa Israel kembali dari pembuangan di Babel (538 SM). Zakharia melayani pada periode yang sama dengan nabi Hagai, ketika bangsa Israel sedang membangun kembali Bait Suci di Yerusalem yang dihancurkan oleh Babel. Nabi Zakharia berbicara kepada umat Israel yang sedang dalam proses membangun kembali Bait Suci di Yerusalem dan mencari pemulihan sebagai bangsa pilihan Allah. Pasal 12-14 merupakan bagian eskatologis (tentang akhir zaman) yang menubuatkan pemulihan Yerusalem, peperangan terakhir, kedatangan Mesias, dan pertobatan besar Israel. Khusus Pasal 12 secara keseluruhan menggambarkan hari Tuhan, yaitu suatu masa di mana Allah akan menyelamatkan Yerusalem dari bangsa-bangsa yang menyerangnya. Pada bagian akhir pasal ini (ay. 10-14), terdapat perubahan fokus dari kemenangan militer menjadi suatu masa pertobatan dan ratapan besar-besaran di Israel karena bangsa Israel akan meratapi seseorang yang telah mereka tikam.
Dalam konteks Perjanjian Lama, “ditikam” (dalam bahasa Ibrani דָּקָר – daqar, yang berarti “menusuk” atau “membunuh dengan senjata tajam”) sering dikaitkan dengan tindakan kekerasan terhadap seorang pemimpin yang dianggap berkhianat atau tidak sesuai harapan umat. Namun, dalam terang Perjanjian Baru, ayat ini digenapi dalam pribadi Yesus Kristus, yang ditikam saat disalib. Yohanes 19:37 mengutip langsung Zakharia 12:10 untuk menunjukkan bahwa nubuatan itu digenapi dalam kematian Yesus di kayu salib. Yohanes menulis Injilnya sekitar akhir abad pertama, dengan tujuan membuktikan bahwa Yesus adalah Mesias dan Anak Allah (Yohanes 20:31). Dalam konteks Yohanes 19, Yesus baru saja disalibkan, dan seorang prajurit Romawi menikam lambung-Nya dengan tombak (Yohanes 19:34). Yohanes mengaitkan peristiwa ini dengan nubuatan Zakharia 12:10, untuk menunjukkan bahwa Yesus adalah Mesias yang dijanjikan dan yang telah ditikam. Sehingga kesimpulan bagi kita adalah nubuatan nabi Zakharia tentang “dia yang telah mereka tikam” merujuk pada Yesus Kristus yang lambung-Nya ditikam oleh prajurit Romawi untuk memastikan kematian-Nya.
Ss, lambung Yesus yang ditikam! tentu ini rasa sakit yang berbeda dengan rasa sakit waktu dapa injak paku, beling, duri atau jari kena tikam jarum. Ini tikaman yang memastikan kematian Yesus. Yesus dapa tikam mati karena dosaku. Kiranya pernyataan ini menjadi permenungan yang mendalam di minggu sengsara yang ketiga ini.
Ss, Dalam perspektif teologi Reformasi, tema “memandang Dia (Yesus) yang tertikam” ini berkaitan erat dengan doktrin anugerah keselamatan, pertobatan sejati, dan pengenalan akan Kristus sebagai satu-satunya Juru Selamat. Reformator seperti John Calvin menekankan bahwa keselamatan adalah anugerah Tuhan yang dikerjakan oleh Roh Kudus, yang membukakan mata manusia untuk memandang Kristus (Dia yang lambung-Nya ditikam) dengan iman. Itu berarti ss, di minggu sengsara yang ketiga ini kita diajak untuk tidak sekedar memandang Dia yang tertikam itu tetapi lebih pada tindakan iman atau respon kita setelah memandang Dia yang tertikam itu. Apa yang harus kita lakukan setelah memandang Dia (Yesus) yang ditikam itu??
Mari kita perhatikan beberapa point penting dalam Nubuatan Zakharia:
1. “Aku akan mencurahkan roh kasih karunia/pengasihan dan roh permohonan…”
- Tuhan sendiri yang memberikan pertobatan kepada Israel.
- “Mencurahkan” (Ibrani: שָׁפַךְ – shaphak): berarti menuangkan atau mencurahkan dengan limpah. Ini menunjukkan tindakan aktif dari Allah yang memberi Roh-Nya kepada umat-Nya.
- “Roh kasih karunia/pengasihan” (Ibrani: רוּחַ חֵן – ruach chen): berarti Roh yang membawa kasih karunia/pengasihan Allah, yaitu anugerah keselamatan dan belas kasihan. Dalam Perjanjian Baru, ini dapat dikaitkan dengan peran Roh Kudus yang membawa kesadaran akan dosa dan anugerah Allah (Yohanes 16:8).
- “Roh permohonan” (Ibrani: רוּחַ תַּחֲנוּנִים – ruach tachanunim): berarti Roh yang mendorong pertobatan dan doa.
- Keluarga Daud melambangkan pemerintahan dan kerajaan. Keluarga Lewi melambangkan keimaman dan ibadah. Penduduk Yerusalem melambangkan semua yang telah turut menyalibkan Dia. Roh pengasihan dan roh permohonan ini menandakan pertobatan total yang mencakup seluruh aspek kehidupan umat Israel.
- Dengan demikian maka, tindakan iman yang harus dilakukan adalah hidup dalam pertobatan total yang mencakup seluruh aspek kehidupan kita sebagai respon dari memandang Dia yang ditikam. John Calvin dalam Institutes of the Christian Religion menyatakan bahwa “manusia secara alami buta terhadap dosa dan tidak dapat bertobat tanpa pekerjaan Roh Kudus”. Ini berarti bahwa pertobatan sejati bukanlah hasil usaha manusia, tetapi respons terhadap anugerah Tuhan yang membuka hati dan pikiran manusia. Pertobatan sejati bukan hanya merasa bersalah, tetapi berbalik kepada Kristus dengan hati yang hancur. Martin Luther dalam 95 tesis-nya menekankan bahwa seluruh kehidupan orang percaya adalah pertobatan yang terus-menerus (semper reformanda). Orang yang bertobat adalah orang yang memiliki kehidupan doa dan menghidupi doa dalam tuntunan Roh Kudus (Roma 8:26-27).
2. “Memandang kepada dia yang telah mereka tikam”
- “Memandang” (Ibrani: נָבַט – nabat): berarti melihat dengan penuh perhatian dan pemahaman, bukan sekadar melihat secara fisik.
- “Dia yang mereka tikam” (Ibrani: אֵת אֲשֶׁר־דָּקָרוּ – et asher-daqaru): merujuk kepada seseorang yang telah ditikam dan sekarang menjadi objek ratapan mereka.
- Ketika kita memandang Yesus yang telah ditikam itu, maka kita harus melihat dengan penuh perhatian, sehingga kita dengan sungguh menyesali dosa kita yang telah ditangguhkan-Nya. Kita tidak sekedar memandang-Nya secara fisik tetapi dengan mata iman yang terbuka untuk betul-betul memaknai kematian Yesus. Ibrani 12:2 “Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan, yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah.”
3. “Mereka akan meratapinya seperti orang meratapi anak tunggal…”
- “Meratap” (Ibrani: סָפַד – saphad): berarti menangis dengan kesedihan yang mendalam.
- Dalam budaya Ibrani, kehilangan anak tunggal atau anak sulung merupakan tragedi yang luar biasa menyedihkan. Ini mengacu pada:
- Anak tunggal adalah satu-satunya harapan keluarga untuk meneruskan keturunan. Jika anak tunggal mati, maka garis keturunan keluarga terputus, yang dalam budaya Yahudi merupakan kehilangan besar. Ini menggambarkan kesedihan yang mendalam dan tak tergantikan.
- Anak sulung memiliki tempat istimewa dalam keluarga Israel karena ia menerima hak waris utama dan tanggung jawab besar dalam keluarga. Kehilangan anak sulung berarti kehilangan masa depan dan pemimpin keluarga yang diharapkan. Hal ini mengingatkan kita pada peristiwa tulah ke-10 di Mesir (Keluaran 11:5-6), di mana semua anak sulung Mesir mati sebagai hukuman Allah.
- Dengan menggunakan dua gambaran ini, Zakharia menubuatkan bahwa suatu hari nanti Israel akan meratap dengan kesedihan yang mendalam atas dosa mereka, karena mereka telah menolak dan menikam Mesias yang diutus untuk menyelamatkan mereka.
- Ratapan atas Hadad-Rimon adalah sebuah tempat dekat Megido, tempat di mana Raja Yosia terbunuh dalam pertempuran melawan pasukan Firaun Nekho (2 Raja-raja 23:29; 2 Tawarikh 35:22-25). Yosia adalah raja yang sangat dikasihi, dan kematiannya menyebabkan ratapan nasional. Ratapan dalam Zakharia 12:10-14 dibandingkan dengan ratapan ini, yang berarti akan ada kesedihan mendalam dan nasional saat mereka menyadari kesalahan mereka karena telah menolak Mesias.
- Ketika kita memandang Yesus yang telah ditikam dengan penuh penyesalan dosa, maka kita akan menangisi diri kita sendiri. Tidak hanya menatap tetapi meratap, sebab Dia ditikam karena penolakan, pemberontakan dan kejahatan kita. Ratapan ini harus menjadi ratapan seluruh umat manusia. Yesaya 53:5 “Tetapi dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh.”
Aplikasi bagi kita di minggu sengsara yang ketiga
- Memandang salib Kristus sebagai pusat keselamatan (Yohanes 19:37)
Yohanes 19:37 menegaskan bahwa Yesus adalah Mesias yang tertikam, menggenapi nubuatan Zakharia 12:10. Dalam perspektif Reformasi, Yesus disalibkan bukan hanya sebagai korban manusia, tetapi sebagai korban penebusan dosa yang telah dirancang dalam kedaulatan Allah sejak kekekalan. Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya. Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya. (Efesus 1:4-5). John Calvin mengajarkan bahwa salib bukan hanya menunjukkan penderitaan Kristus, tetapi juga kemenangan-Nya atas dosa dan maut. Oleh karena itu, sebagai orang pilihan “Israel yang baru” dan anak-anak-Nya yang telah menang maka kita harus memandang kepada Dia yang tertikam dengan penuh penyesalan dan ungkapan syukur, dalam doa dan permohonan agar Roh Kudus terus menuntun hidup kita untuk selalu hidup dalam pertobatan dan menghasilkan buah pertobatan serta kita ada dalam pengakuan bersama kepala pasukan dan para prajurit yang menikam Yesus “sungguh, Ia ini adalah Anak Allah” (Matius 27:54b). Tidak ada lagi penolakan yang ada hanya penerimaan, pengakuan dan hidup dalam kesetiaan dan ketaatan sebagai orang pilihan. Di minggu sengsara yang ketiga ini, mari kita bertanya pada diri kita sendiri, apa dosa yang masih membelenggu hidup kita dan berkomitmen dengan sungguh untuk bertobat dan melepaskan diri dari belenggu dosa kita agar Yesus tidak terus “ditikam” karena kejahatan kita.
- Ratapan sebagai respons pertobatan yang sejati
Kita tidak hanya menatap tetapi meratap. Di minggu sengsara yang ketiga ini, kita diajak untuk tidak hanya menatap dosa kita serta pemberontakan dan kejahatan yang terjadi di sekeliling kita tetapi juga turut meratap dalam doa dan permohonan agar terjadi pertobatan dan pemulihan total. Dalam terang sub tema periode ini “Menghidupi ibadah yang berkeadilan, penuh kesetiaan, saling mengasihi dan merangkul perbedaan (1 Timotius 6:11).” Kita dituntun untuk menghidupi Ibadah yang berkeadilan, penuh kesetiaan, saling mengasihi dan merangkul perbedaan. Ibadah yang berkeadilan itu adalah sikap dan perhatian kita kepada saudara-saudara kita yang “terdiskriminasi”. Bagaimana GMIT (kita semua) membangun ibadah yang berkeadilan, khusus bagi mereka yang:
- Distabilitas, mari bersama kita mendoakan saudara-saudara kita ini sambil memberi motivasi dan memberikan pelayanan yang terbaik sehingga mereka juga mendapatkan keadilan dalam pelayanan kita.
- Kaum LGBTQ yang memiliki orientasi seks yang berbeda, kita tentu tidak menyetujui perilaku mereka tetapi tetap mengasihi mereka. Kita tidak hanya sebatas menatap mereka dengan penuh kebencian, stigma buruk dan menyalahkan mereka tanpa meratap dalam doa dan permohonan agar mereka dipulihkan dan hidup dalam pertobatan.
- Orang dengan Aids (ODA) dan orang dengan HIV AIDS (ODHA), terhadap saudara-saudara kita ini, kita tidak hanya menjauhkan diri dan membiarkan mereka terasing dan merasakan akibat dari dosa mereka semata tetapi juga meratap bersama mereka dalam doa dan permohonan kiranya mereka dipulihkan dan kembali hidup dalam pertobatan.
- Judi online, pinjaman online, PSK online (aplikasi orange, tinder, tantan..) di tengah kemajuan teknologi, banyak saudara-saudara kita yang “terjebak” dalam beberapa aplikasi online. Kita tidak hanya menatap dan menyalahkan mereka atas “kebodohan mereka” tetapi juga meratap dalam doa dan permohonan agar mereka dapat berbenah, dipulihkan dan hidup dalam pertobatan.
- Matius 25:40, “Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.”
Ss, diakhir dari refleksi ini, saya sertakan kesaksian dari kehidupan John Newton kiranya memperkaya khotbah kita di hari minggu nanti, selamat mempersiapkan diri dalam pelayanan di minggu sengsara yang ketiga. Kiranya kita semua dapat memandang Dia yang tertikam dengan penuh penyesalan dan berkomitmen untuk kembali hidup dalam pertobatan sejati. Mari kita lagukan KJ.NO. 169 “Memandag salib Rajaku”.
Pertobatan dan perubahan hidup John Newton
John Newton (1725–1807) adalah seorang pendeta Anglikan, penulis himne, dan mantan kapten kapal budak yang kemudian menjadi pendukung penghapusan perbudakan.
Newton lahir di Wapping, London, dan mulai bekerja di laut pada usia muda. Ia terlibat dalam perdagangan budak Atlantik selama beberapa tahun. Pada tahun 1745, Newton sendiri menjadi budak bagi seorang wanita dari suku Sherbro di Sierra Leone. Ia kemudian diselamatkan dan kembali bekerja di kapal budak, menjadi kapten beberapa kapal. Ia dipaksa masuk ke dalam layanan Angkatan Laut Kerajaan, dan setelah meninggalkan layanan tersebut, ia terlibat dalam perdagangan budak Atlantik. Pada tahun 1748, dalam perjalanan kembali ke Inggris dengan kapal Greyhound, Newton mengalami konversi Kristen. Ia terbangun saat kapal menghadapi badai hebat di lepas pantai County Donegal, Irlandia, dan hampir tenggelam. Newton mulai berdoa memohon belas kasihan Tuhan, setelah itu badai mulai mereda. Pengalaman ini menandai awal pertobatannya. Ia mulai membaca Alkitab dan literatur Kristen lainnya, dan saat tiba di Inggris, ia telah menerima doktrin Kekristenan evangelikal.
Meskipun momen ini menandai pertobatan spiritualnya, ia terus berdagang budak hingga 1754 atau 1755, ketika ia berhenti berlayar sepenuhnya. Setelah meninggalkan kehidupan di laut, Newton menjadi agen bea cukai di Liverpool dan mulai mempelajari teologi Kristen. Ia ditahbiskan sebagai pendeta Anglikan pada tahun 1764 dan melayani sebagai pastor di Olney, Buckinghamshire, selama dua dekade. Selama waktu ini, ia menulis himne-himne, termasuk “Amazing Grace” dan “Glorious Things of Thee Are Spoken”. Newton hidup untuk melihat penghapusan perdagangan budak Afrika oleh Kerajaan Inggris pada tahun 1807, hanya beberapa bulan sebelum kematiannya.
“Amazing Grace” (KJ. NO. 40 Ajaib benar Anugerah) adalah himne Kristen yang ditulis oleh Newton pada tahun 1772 dan diterbitkan pada tahun 1779. Lagu ini mungkin merupakan himne yang paling sering dinyanyikan dan direkam di dunia, terutama populer di Amerika Serikat. Newton menulis liriknya berdasarkan pengalaman pribadinya; ia tumbuh tanpa keyakinan religius tertentu, tetapi jalan hidupnya dibentuk oleh berbagai liku-liku kehidupan di masa lalu. Dalam petualangannya, ia berjumpa dengan Dia yang tertikam itu dan perjumpaan itu mengubah hidupnya, baginya semua itu adalah anugerah Allah semata. Kisah hidup John Newton menunjukkan transformasi luar biasa dari seorang yang terlibat dalam perbudakan menjadi pendeta dan pendukung penghapusan perbudakan, serta penulis himne yang sangat berpengaruh sampai saat ini.
Makna Pertobatan John Newton dan Kesaksian dari Lagu “Amazing Grace”
John Newton mengalami perjalanan hidup yang dramatis, dari seorang pendosa besar—seorang kapten kapal budak—menjadi seorang pendeta dan pejuang penghapusan perbudakan. Pertobatannya menunjukkan tiga aspek utama:
- Kesadaran akan dosa
Newton hidup dalam kegelapan moral selama bertahun-tahun. Sebagai seorang kapten kapal budak, ia memperlakukan manusia sebagai barang dagangan. Namun, dalam badai tahun 1748 di Laut Irlandia, ia menyadari ketidakberdayaannya dan berteriak memohon belas kasihan Tuhan. Itu adalah momen ketika ia mulai menyadari betapa besarnya dosanya dan betapa ia membutuhkan keselamatan. - Anugerah Allah yang mengubahkan
Meskipun Newton belum sepenuhnya meninggalkan perdagangan budak segera setelah pertobatannya, kasih karunia Tuhan terus bekerja dalam hidupnya. Berjalannya waktu, ia mulai memahami bahwa iman Kristen tidak dapat dipisahkan dari keadilan dan kasih kepada sesama. - Transformasi hidup dan buah pertobatan
Newton akhirnya meninggalkan perdagangan budak, menjadi seorang pendeta, dan berjuang bersama William Wilberforce dalam menghapus perbudakan di Inggris. Perubahan ini menunjukkan bahwa pertobatan sejati menghasilkan buah nyata dalam hidup seseorang. - “Amazing Grace” (Ajaib Benar Anugerah) adalah ekspresi syukur Newton atas kasih karunia Tuhan yang menyelamatkan dia. “Amazing grace! How sweet the sound, that saved a wretch like me!” (Ajaib benar anugerah, menyelamatkanku! Dahulu aku sesat, kini ditemukan). Newton menyadari bahwa ia adalah orang berdosa yang tidak layak, tetapi kasih karunia Tuhan tetap menjangkau dia. “I once was lost, but now am found; was blind, but now I see.“ Newton merasa buta secara rohani, tetapi setelah mengenal Kristus, ia bisa “melihat” kebenaran. “Through many dangers, toils, and snares, I have already come; ‘Tis grace hath brought me safe thus far, and grace will lead me home.” Newton mengakui bahwa sepanjang hidupnya, ia telah melewati banyak kesulitan, tetapi anugerah Tuhan menopangnya dan akan membimbingnya sampai akhir. Amin.